BANDUNG - Saat ini dinamika, perkembangan serta tantangan perlindungan konsumen sangat kompleks. Hal ini dapat terlihat dengan kuatnya pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perubahan ekonomi global (konflik dagang antara Amerika dan China) dan kondisi alam, serta ekses perkembangan era revolusi industri/era disrupsi.
Kompleksitas persoalan perlindungan konsumen secara kongkrit dapat kita lihat dengan adanya kasus-kasus nasional maupun internasional seperti, ketidakpastian konsumen dalam membayar iuran BPJS Kesehatan pasca putusan Mahkanah Agung serta pelayanan kesehatan yang diterimanya; Sanksi pemberhentian pelayanan publik terhadap konsumen penunggak iuran BPJS Kesehatan; Hak-hak konsumen akibat penipuan yang dilakukan perusahan investasi bodong, pinjaman online; Hak-hak konsumen akibat gagal bayar oleh perusahaan asuransi pemerintah (Bumiputera, Jiwasraya, Asabri); Hak konsumen untuk memperoleh alat-alat, pelayanan kesehatan dan obat-obatan untuk mencegah corona; Posisi konsumen dalam perjanjian berdasarkan alasan Force Majeure Covid-19. Kasus perumahan, polemik impor barang bekas, masalah minyak goreng yang berkepanjangan, kenaikan ongkos haji, BBM, gas 3 kg, listrik, dll.
Selain itu, kedudukan konsumen akibat ekses dari Omnibus Law Cipta Kerja, Omnibus Law Keuangan, Omnibus Law Kesehatan; Posisi konsumen yang saat ini berada dalam struktur pasar monopoli dan kartel yang cenderung digiring untuk memilih atau membeli produk dan jasa dari kaum monopolis.
Belum lagi terkait upaya penguatan terhadap lembaga/badan2 perlindungan konsumen, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang tersebar di kabupaten/kota se Indonesia, serta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang belum memperoleh perhatian serius dari pemerintah.
Dalam perspektif yuridis, sinkronisasi antara pengaturan perlindungan konsumen yang semula diselenggarakan oleh kabupaten/kota dialihkan ke provinsi yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015, dengan UUPK, sampai saat ini masih menyisakan "pekerjaan rumah" yang belum selesai.
Sementara, harmonisasi UUPK dengan UU lain pun belum terlihat selaras (selalu dikesampingkan), seperti UUPK dengan UU OJK, UU Jaminan Fidusia, UU Perbendaharaan Negara, UU Kesehatan, UU ITE. Hal ini karena UUPK dianggap sebagai UU General/UU Umum yang bisa dikesampingkan oleh UU lain melalui penerapan asas Lex specialis derogat legi generali.
Padahal menurut politik hukum UUPK yang tercantum dalam Penjelasan, disebutkan bahwa "UUPK merupakan payung yang mengintegrasikan (UU lain/complementary act-pen) dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen."
Secara sosiologis, dengan adanya beberapa kebijakan terkait pencegahan penularan virus corona, seperti work from home, social/physical distancing, dan lockdown dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang jika dilanggar bisa dipidana, serta kebijakan asimilasi dan integrasi terhadap penghuni lapas, mengakibatkan kebebasan konsumen untuk memperoleh kebutuhan hidup sehari-hari (sekaligus mencari nafkah) juga terganggu.
Termasuk konsumen yang menyampaikan haknya sesuai UUPK, yaitu untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan terhadap pemerintah bisa dijerat dengan Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tentang ancaman untuk "mempolisikan" warga yang salah bicara.
Persoalan lain adalah mengenai ketidakpastian Relaksasi kredit dari lembaga keuangan, dan ancaman dikejar2 Debt Collector.
Belum tercapainya sasaran strategi nasional, action plan, roadmap dan standarisasi pelayanan perlindungan konsumen, terutama dalam hubungannya antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota serta antara kementerian/lembaga. Sementara keberdayaan konsumen Indonesia relative masih rendah.
Melihat problematik perlindungan konsumen dengan spektrum luas yang kompleks dan semakin tidak mengenal batas nilai dan norma yang konvensional lagi, untuk langkah-langkah perlindungan konsumen nasional ke depan, diperlukan strategi baru dalam manajemen penyenggaraan perlindungan konsumen.
Dengan kata lain, inti persoalan perlindungan konsumen bermuara pada 5 hal yang perlu dibenahi, yakni : (1) Pembenahan, harmonisasi & pengadaan hukum baru (peraturan perundang-undangan);
(2) Peningkatan dan pengadaan sarana prasarana (fasilitas);
(3) Pemberdayaan sdm/aparat baik kualitas maupun kuantitas;
(4) Budaya hukum masyarakat; dan
(5) Political will untuk melindungi konsumen secara konsisten dan simultan.
Untuk mencapai kelima sasaran di atas, perlu disiapkan energi hukum baru untuk merancang politik hukum perlindungan konsumen dalam kondisi perekonomian nasional dan global pasca corona.
Penyusunan rancangan politik hukum perlindungan konsumen perlu dibuat dengan paradigama baru dan ini tentunya memerlukan dukungan penuh dan mauan politik dari eksekutif maupun Legislatif.(*)
Oleh DR. Firman Turmantara Endipradja, S.H., S.Sos., M.Hum./ Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan dan Pascasarjana Univ. Katolik Parahyangan/Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN RI.